"Kamu berubah!" panggilku dari jauh. Kamu sudah berjalan membelakangiku, membiarkanku menatap punggungmu yang bidang.
Kamu berhenti, kemudian menengok dari asal suara itu. Iya, itu suaraku, yang sekarang sudah bertambah dengan isakan dan air mata yang mungkin tak bisa berhenti. Kamu menghampiriku, kemudian membelai pipiku yang mulai basah dengan air mata. Dengan penuh rasa sayang--aku bisa merasakan itu--kamu menghapus air mataku yang makin pecah ketika kamu di dekatku.
"Siapa yang berubah? Aku? Memang sudah saatnya, 'kan?" jelasnya, pelan tapi tajam. Penuh dengan kehati-hatian kamu membelai rambutku. Aku diam saja.
"Dengar, aku berubah karena memang sudah saatnya aku berubah. Untuk apa kamu terus mempertanyakan hal itu?"
"Tapi kupikir kita masih menjadi kita, bukan antara aku dan kamu lagi," kataku sambil terisak. Kamu tersenyum.
"Bukankah sudah kubilang dari jauh-jauh hari. Kita ini bukan kita. Sekarang hanya ada aku, dan kamu. Kita, itu hanya sepenggal kisah yang pernah ada. Itu saja." jawabmu, yang masih belum bisa memuaskan logikaku tentang kita.
"Lalu selama ini apa? Kamu bilang kita sudah berjalan sendiri-sendiri, tapi kamu masih aja mencoba berjalan beriringan bersamaku. Kamu membuat seolah-olah kita masih berjalan beriringan." kalimatku terhenti. "Dan kamu membuat harapan itu makin tumbuh. Kamu sadar? Harusnya kamu sadar, mengingat kamu sudah dewasa dan sudah tahu caranya meng-handle perempuan." lanjutku sedikit menyindir.
"Aku begini karena.." kamu menarik nafas berat, seakan-akan sedang melepaskan beban seberat satu ton di dadamu. "Aku, mungkin, masih belum terbiasa tanpamu."
PLAK! Tanpa sadar tangan kananku melayang di pipi kirimu. Kamu memegang pipimu yang mulai terasa panas, tapi mataku lebih panas karena menahan beribu-ribu bulir air mata agar tak menetes di depanmu.
"Kamu? Masih belum bisa? Hahaha," aku tertawa. Kamu masih terdiam, meskipun aku tahu kamu sedang menahan rasa sakit dari pipimu. "Lalu bagaimana aku? Bagaimana perasaanku? Apa kamu sempat mikir bagaimana rasanya ditinggal dalam keadaan aku sedang sangat membutuhkanmu? Lalu, ketika kita sedang berjalan bersama, tapi kamu sadar kalau kita berjalan dengan tembok di antara kita? Kamu sadar nggak, kamu itu sudah membuat aku merasa dipermainkan!" tandasku. Kamu menoleh tegas ke arahku. Aku mencoba kuat menatapmu, meskipun aku sudah merasa kalau sebentar lagi akan ada anak sungai baru yang terbentuk di pipiku.
"Apa kamu sempat berfikir kalau apa saja yang kamu lakukan sampai sejauh ini bisa menyakitiku lebih dalam? Kalau kamu masih belum bisa terbiasa tanpa aku, kenapa kamu memaksakan untuk melepasku?" air mataku mulai mengalir lagi. "Lalu, setelah kamu pergi, kamu datang lagi seolah-olah tidak ada yang terjadi di antara kita. Kamu dengan sadar, membuat keadaan kita menjadi seperti sediakala. Dan aku, jadi berharap kalau kamu dan aku bisa menjadi kita lagi. Tapi apa? Kamu mulai mendahuluiku berjalan lagi. Sementara aku, tertinggal di belakang. Cuma bisa menatap punggungmu, mencoba mengejarmu. Tapi kamu? Kamu berlari sambil tertawa. Tapi kamu tidak pernah menoleh ke belakang. Tidak menoleh ke arahku, yang masih mencoba mencerna perlakuanmu terhadapku."
Kamu menghela nafas. "Jadi ini maksudmu kalau aku berubah?"
Aku tidak menjawab. Mungkin karena aku sendiri sudah tidak mampu mengungkapkan apa saja yang masih tersimpan di otakku. Kamu mendekatiku lagi, mengusap kepalaku, kemudian menghapus air mataku. Aku mengelak.
"Kamu masih dengan tenang menghapus air mataku?" kamu berhenti. Kemudian melepaskan tanganmu dari pipiku. Aku tersenyum.
"Memang benar, sudah saatnya kamu berubah. Aku pergi." pamitku kemudian pergi menjauh darimu.
Kamu tidak menghentikanku. Kamu hanya menatapku yang semakin jauh berjalan meninggalkanmu. Dan saat itu aku sadar, kita memang harus menjadi aku dan kamu.
Kamu berhenti, kemudian menengok dari asal suara itu. Iya, itu suaraku, yang sekarang sudah bertambah dengan isakan dan air mata yang mungkin tak bisa berhenti. Kamu menghampiriku, kemudian membelai pipiku yang mulai basah dengan air mata. Dengan penuh rasa sayang--aku bisa merasakan itu--kamu menghapus air mataku yang makin pecah ketika kamu di dekatku.
"Siapa yang berubah? Aku? Memang sudah saatnya, 'kan?" jelasnya, pelan tapi tajam. Penuh dengan kehati-hatian kamu membelai rambutku. Aku diam saja.
"Dengar, aku berubah karena memang sudah saatnya aku berubah. Untuk apa kamu terus mempertanyakan hal itu?"
"Tapi kupikir kita masih menjadi kita, bukan antara aku dan kamu lagi," kataku sambil terisak. Kamu tersenyum.
"Bukankah sudah kubilang dari jauh-jauh hari. Kita ini bukan kita. Sekarang hanya ada aku, dan kamu. Kita, itu hanya sepenggal kisah yang pernah ada. Itu saja." jawabmu, yang masih belum bisa memuaskan logikaku tentang kita.
"Lalu selama ini apa? Kamu bilang kita sudah berjalan sendiri-sendiri, tapi kamu masih aja mencoba berjalan beriringan bersamaku. Kamu membuat seolah-olah kita masih berjalan beriringan." kalimatku terhenti. "Dan kamu membuat harapan itu makin tumbuh. Kamu sadar? Harusnya kamu sadar, mengingat kamu sudah dewasa dan sudah tahu caranya meng-handle perempuan." lanjutku sedikit menyindir.
"Aku begini karena.." kamu menarik nafas berat, seakan-akan sedang melepaskan beban seberat satu ton di dadamu. "Aku, mungkin, masih belum terbiasa tanpamu."
PLAK! Tanpa sadar tangan kananku melayang di pipi kirimu. Kamu memegang pipimu yang mulai terasa panas, tapi mataku lebih panas karena menahan beribu-ribu bulir air mata agar tak menetes di depanmu.
"Kamu? Masih belum bisa? Hahaha," aku tertawa. Kamu masih terdiam, meskipun aku tahu kamu sedang menahan rasa sakit dari pipimu. "Lalu bagaimana aku? Bagaimana perasaanku? Apa kamu sempat mikir bagaimana rasanya ditinggal dalam keadaan aku sedang sangat membutuhkanmu? Lalu, ketika kita sedang berjalan bersama, tapi kamu sadar kalau kita berjalan dengan tembok di antara kita? Kamu sadar nggak, kamu itu sudah membuat aku merasa dipermainkan!" tandasku. Kamu menoleh tegas ke arahku. Aku mencoba kuat menatapmu, meskipun aku sudah merasa kalau sebentar lagi akan ada anak sungai baru yang terbentuk di pipiku.
"Apa kamu sempat berfikir kalau apa saja yang kamu lakukan sampai sejauh ini bisa menyakitiku lebih dalam? Kalau kamu masih belum bisa terbiasa tanpa aku, kenapa kamu memaksakan untuk melepasku?" air mataku mulai mengalir lagi. "Lalu, setelah kamu pergi, kamu datang lagi seolah-olah tidak ada yang terjadi di antara kita. Kamu dengan sadar, membuat keadaan kita menjadi seperti sediakala. Dan aku, jadi berharap kalau kamu dan aku bisa menjadi kita lagi. Tapi apa? Kamu mulai mendahuluiku berjalan lagi. Sementara aku, tertinggal di belakang. Cuma bisa menatap punggungmu, mencoba mengejarmu. Tapi kamu? Kamu berlari sambil tertawa. Tapi kamu tidak pernah menoleh ke belakang. Tidak menoleh ke arahku, yang masih mencoba mencerna perlakuanmu terhadapku."
Kamu menghela nafas. "Jadi ini maksudmu kalau aku berubah?"
Aku tidak menjawab. Mungkin karena aku sendiri sudah tidak mampu mengungkapkan apa saja yang masih tersimpan di otakku. Kamu mendekatiku lagi, mengusap kepalaku, kemudian menghapus air mataku. Aku mengelak.
"Kamu masih dengan tenang menghapus air mataku?" kamu berhenti. Kemudian melepaskan tanganmu dari pipiku. Aku tersenyum.
"Memang benar, sudah saatnya kamu berubah. Aku pergi." pamitku kemudian pergi menjauh darimu.
Kamu tidak menghentikanku. Kamu hanya menatapku yang semakin jauh berjalan meninggalkanmu. Dan saat itu aku sadar, kita memang harus menjadi aku dan kamu.
spot!
BalasHapushehee. halo fan. iseng berkunjung dan meninggalkan jejak.
masih ingat saya??*sok udah 38 taun ga ketemu gitu*
hei kao! tumben berkunjung. hahai~
Hapusbagaimana aku tak mengingatmu, tuh salah satu post ku ada kalimatmu. hahahah carilah!
hah? hah?? iya?? mana? manaa?
Hapuscari saja~ pokoknya aku mencantumkan salah satu quotesmu *kalo masih ingat* hahaha~
Hapus