"Hai, manis. Apakah kau masih tetap ingin tertidur?" Katamu sambil menggenggam tanganku. Aku masih tak menjawab. Kamu semakin erat menggenggam tanganku.
Entah mengapa aku tak ingin membuka mataku. Tak ada niat, atau mungkin lebih tepatnya tak ada daya untuk membukanya. Atau mungkin.. aku menunggumu mengungkapkan sesuatu.
Wajahmu terlihat lesu sayu. Mungkin karena kamu memaksakan diri langsung ke tempatku tanpa istirahat terlebih dulu. Hei, kamu juga harus memperhatikan kesehatanmu! Memangnya aku yang harus selalu kamu ingatkan ketika masih harus berkutat dengan komputer di pagi buta? Ingat, badanmu bukan robot, katamu. Aku hanya tersenyum jahil, dan kamu tetap menyuruhku untuk menghentikan aktivitasku.
"Kamu mau sampai kapan seperti ini?" Tanyamu. Aku masih bergeming. Tak kuasa ku buka mataku. Kamu mulai membelai lembut kepalaku, mengangkat tanganku kemudian menempelkannya di pipimu. Oh, itulah yang selalu kutunggu darimu!
"Aku tahu kamu selalu jadi yang terbaik. Aku tahu hanya kamu yang paling mengertiku. Tak sepatutnya aku berpaling. Tak seharusnya aku menyerah dengan perasaanku kala itu."
Kamu tak bersuara! Aku tak melihat bibirmu berbicara. Dari mana datangnya suara itu?
"Hei, maafkan aku. Aku memang bodoh, membiarkan dirimu terluka saat bersamaku. Aku bodoh karena membiarkan kamu menikmati perasaan itu sendiri. Aku yang salah, menyerah karena bukan kamu tujuanku. Maafkan aku."
Kalimat itu terdengar lagi. Suaramu, tapi kamu tak berbicara. Sejak kapan aku bisa mendengar pikiranmu?
"Hei... Kamu bisa mendengarku?"
Ya, ya! Aku bisa! Ungkapkan apa yang selama ini kamu pendam!
"Aku rindu kamu."
Aku pun! Tolong siapa pun, sadarkan aku! Bukakan mataku, buatlah aku berbicara!
Kamu mencium keningku. Oh Tuhan, apa aku sedang bermimpi? Kamu makin menggenggam erat tanganku. Jemari itu, kehangatan itu, lama tak ku rasakan sejak pertemuan terakhir kita.
Tapi, hei, bukankah kau sudah bahagia? Bukankah kau sudah bersama dengan orang yang kau pilih? Aku siapa?
Pikiran itu tiba-tiba muncul.
"Hei, kamu mendengarku? Air mata apa ini?" Kamu terkejut saat menemukan air mataku berlinang dari kedua mataku. Dengan lembut kamu mengusapnya, penuh kasih.
Seseorang, tolong hentikan dia! Jangan biarkan aku terjebak!
"Ya Tuhan, maafkan aku. Maafkan aku, hei, aku tak bermaksud menyakitimu lagi. Sungguh.. tolong mengertilah.." kamu menggenggam tangan kiriku lebih erat, kali ini dengan kedua tanganmu. Sambil dikepalkan, kudengar kamu berdoa.
"Tolong, buatlah ia seperti dulu kala. Berilah dia senyum yang selalu menguatkanku. Berikan dia canda yang selalu mengikuti hari-hariku. Berikan dia kehidupan yang bisa menjadi harapanku."
Air mata itu mengalir lagi. Tiba-tiba kudengar suara pintu terketuk. Dia datang. Kamu buru-buru mengembalikan tanganku ke posisi semula, lalu duduk di sofa yang letaknya tak jauh dariku.
"Hei, bro! Maaf lama, macet biasa. Dia masih belum bangun juga?"
"Hm.. belum. Ya sudah, aku bisa pulang kan?"
"Sure, dude! Terima kasih banyak sudah membantuku. Salam untuknya dariku!"
Kamu mengangguk lalu pergi. Dia menghampiriku yang masih terpejam tak bergerak. Dilihatnya bekas air mata yang sedikit basah di pipiku, kemudian ia menghapusnya penuh sayang.
"Hei, sayang. Masihkah ada dia di hatimu?"
======
© Aliffanita. 12 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar