Matahari masih tepat di atas kepalaku saat aku mulai memasuki kafe itu. Kamu sudah di sana, duduk, lalu kemudian berdiri ketika melihatku. Kusiapkan pikiran dan hatiku untuk mengajakmu bicara. Atau lebih tepatnya untuk menatapmu.
Kamu masih seperti itu, masih sama. Hanya saja rambutmu itu sudah mulai kamu tata rapi. Tidak seperti dulu, masih panjang. Tapi itulah yang membuatku selalu terkesima ketika bersamamu.
Itu dulu. Iya.
Kamu masih menungguku yang sedang berjalan pelan menujumu. Senyum terkembang dari bibirmu. Senyum yang dulu pernah milikku, seutuhnya. Aku mulai merasakan debaran jantungku yang semakin cepat. Buru-buru aku menenangkan kembali otakku yang mulai berpikir entah kemana. Sengaja kupelankan langkahku, biar aku bisa memperhatikanmu. Apa saja yang berubah darimu, dan apa saja yang masih tetap ada melekat di dirimu.
Tinggimu, mungkin tak banyak berubah. Sungguh, terakhir perjumpaan kita aku masih sealismu. Mungkin sekarang tinggiku bisa sebahumu. Oh tidak, kamu tambah tinggi ternyata. Aku kembali menyadari perubahanmu.
Akhirnya langkahku terhenti. Aku telah sampai, tepat di hadapanmu. Kamu mengulurkan tanganmu. Aku membalasnya, dengan sikap tenang, dengan senyum terkembang di bibirku--senyum paling bahagia mungkin, tanganku terjulur pelan meraih tanganmu. Hangat, masih seperti dulu.
Kamu mempersilahkanku duduk. Aku mengikutimu. Kita sama-sama menghela nafas, kemudian tertawa.
"Lama juga ya nggak ketemu," katamu membuka percakapan. Aku tersenyum.
"Iya, lumayan." jawabku.
Kemudian suasana kembali hening. Sempat seorang pelayan menghampiriku, menanyakan pesananku. Dan selalu capuccino, entah kenapa aku selalu menyukai capuccino. Tak berapa lama kemudian, capuccinoku datang. Aku meneguknya, menyesapi aroma kopi yang bercampur dengan krim susu. Aku menarik nafasku, mengumpulkan tenaga untuk mencoba mengungkapkan kembali semuanya.
"Kamu tahu, rasa itu masih ada?"
Kamu menoleh ke arahku. Menatapku bingung.
"Aku dulu berpikir kalau rasa ini mungkin bisa hilang begitu saja, seiring kamu pergi dari tempatmu. Tapi ternyata, kamu semakin nyata, semakin mencoba untuk kembali datang. Dan aku, entah kenapa selalu menikmati kehadiranmu yang semu. Entah, mungkin karena aku terbiasa dengan kehadiranmu atau karena aku belum bisa melepaskanmu seutuhnya."
"Tapi jujur, keinginanku untuk menghapus rasa ini masih ada. Masih besar. Jangan salah. Aku bukannya ingin bersamamu. Tidak. Aku hanya menikmati kenangan kita. Kenangan yang masih bisa diingat, meskipun seharusnya tidak perlu diingat lagi." Aku tersenyum.
"Kamu tidak perlu khawatirkan perasaanku. Aku sudah lega. Aku sudah bebas. Aku bisa mengendalikannya, tanpa perlu bantuanmu. Meskipun mungkin aku akan sedikit mengganggumu. Oh, tidak. Tidak akan. Setelah ini tidak akan, aku janji. Untuk sekarang saja, mungkin ini terakhir kali aku bicara serius kepadamu."
"Aku senang, lebih tepatnya bahagia. Mungkin dulu aku masih belum terima, tapi sekarang percayalah, aku bahagia, untukmu, untukku, untuk kita. Untuk apa yang telah kita lewati bersama, dan untuk apa yang akan kita lewati setelah ini."
Tiba-tiba dia datang, aku kembali harus menyiapkan hatiku. Tidak, aku harus kuat. Aku tidak akan mengeluarkan air mata. Aku sudah berjanji.
Dia datang, menyapamu kemudian menyapaku. Dia mencium pipi kiri dan kananku secara bergantian. Dia menyapamu hangat, begitu juga kamu yang membelai tangannya pelan, penuh cinta. Aku tersenyum melihatmu dan dia.
"Oke," ujarku. "Langsung saja ya? Konsep pernikahan kalian.."
---
Kamu masih seperti itu, masih sama. Hanya saja rambutmu itu sudah mulai kamu tata rapi. Tidak seperti dulu, masih panjang. Tapi itulah yang membuatku selalu terkesima ketika bersamamu.
Itu dulu. Iya.
Kamu masih menungguku yang sedang berjalan pelan menujumu. Senyum terkembang dari bibirmu. Senyum yang dulu pernah milikku, seutuhnya. Aku mulai merasakan debaran jantungku yang semakin cepat. Buru-buru aku menenangkan kembali otakku yang mulai berpikir entah kemana. Sengaja kupelankan langkahku, biar aku bisa memperhatikanmu. Apa saja yang berubah darimu, dan apa saja yang masih tetap ada melekat di dirimu.
Tinggimu, mungkin tak banyak berubah. Sungguh, terakhir perjumpaan kita aku masih sealismu. Mungkin sekarang tinggiku bisa sebahumu. Oh tidak, kamu tambah tinggi ternyata. Aku kembali menyadari perubahanmu.
Akhirnya langkahku terhenti. Aku telah sampai, tepat di hadapanmu. Kamu mengulurkan tanganmu. Aku membalasnya, dengan sikap tenang, dengan senyum terkembang di bibirku--senyum paling bahagia mungkin, tanganku terjulur pelan meraih tanganmu. Hangat, masih seperti dulu.
Kamu mempersilahkanku duduk. Aku mengikutimu. Kita sama-sama menghela nafas, kemudian tertawa.
"Lama juga ya nggak ketemu," katamu membuka percakapan. Aku tersenyum.
"Iya, lumayan." jawabku.
Kemudian suasana kembali hening. Sempat seorang pelayan menghampiriku, menanyakan pesananku. Dan selalu capuccino, entah kenapa aku selalu menyukai capuccino. Tak berapa lama kemudian, capuccinoku datang. Aku meneguknya, menyesapi aroma kopi yang bercampur dengan krim susu. Aku menarik nafasku, mengumpulkan tenaga untuk mencoba mengungkapkan kembali semuanya.
"Kamu tahu, rasa itu masih ada?"
Kamu menoleh ke arahku. Menatapku bingung.
"Aku dulu berpikir kalau rasa ini mungkin bisa hilang begitu saja, seiring kamu pergi dari tempatmu. Tapi ternyata, kamu semakin nyata, semakin mencoba untuk kembali datang. Dan aku, entah kenapa selalu menikmati kehadiranmu yang semu. Entah, mungkin karena aku terbiasa dengan kehadiranmu atau karena aku belum bisa melepaskanmu seutuhnya."
"Tapi jujur, keinginanku untuk menghapus rasa ini masih ada. Masih besar. Jangan salah. Aku bukannya ingin bersamamu. Tidak. Aku hanya menikmati kenangan kita. Kenangan yang masih bisa diingat, meskipun seharusnya tidak perlu diingat lagi." Aku tersenyum.
"Kamu tidak perlu khawatirkan perasaanku. Aku sudah lega. Aku sudah bebas. Aku bisa mengendalikannya, tanpa perlu bantuanmu. Meskipun mungkin aku akan sedikit mengganggumu. Oh, tidak. Tidak akan. Setelah ini tidak akan, aku janji. Untuk sekarang saja, mungkin ini terakhir kali aku bicara serius kepadamu."
"Aku senang, lebih tepatnya bahagia. Mungkin dulu aku masih belum terima, tapi sekarang percayalah, aku bahagia, untukmu, untukku, untuk kita. Untuk apa yang telah kita lewati bersama, dan untuk apa yang akan kita lewati setelah ini."
Tiba-tiba dia datang, aku kembali harus menyiapkan hatiku. Tidak, aku harus kuat. Aku tidak akan mengeluarkan air mata. Aku sudah berjanji.
Dia datang, menyapamu kemudian menyapaku. Dia mencium pipi kiri dan kananku secara bergantian. Dia menyapamu hangat, begitu juga kamu yang membelai tangannya pelan, penuh cinta. Aku tersenyum melihatmu dan dia.
"Oke," ujarku. "Langsung saja ya? Konsep pernikahan kalian.."
---
Komentar
Posting Komentar