Aku melirik jam dinding yang terpasang di ruang kerja. Sudah jam 4 sore. Pantas saja ruangan ini sudah seperti kamar kos yang ditinggal penghuninya. Aku menghela nafas, masih ada dua agenda yang harus aku hadiri. Jam 5 ada meeting dengan pengusaha terkenal yang ingin membantu biaya operasional televisi, dan dilanjutkan jam 7 mengawasi produksi program buletin berita. Aku kembali menghela nafas, kemudian memencet beberapa nomor di telepon untuk terhubung dengan pantry.
"Halo, dengan pantry. Ada yang bisa dibantu?" seorang office girl menjawab teleponku, yang aku tahu ternyata Fira.
"Fir, tolong bawakan segelas jeruk hangat, ya. Saya tunggu di kantor."
"Baik, bu." jawabnya kemudian langsung menutup telepon.
Beberapa menit kemudian, pintu kantorku diketuk. Ternyata Toni, salah seorang teman Fira yang mengantarkan jeruk hangat pesananku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku mempersilahkan Toni untuk meninggalkan ruanganku.
Keheningan kembali terjadi. Sesekali aku membuka surelku, kemudian membalas salah satu surat pengunduran diri reporterku di bidang kriminal. Katanya ia harus mengurusi suaminya yang sudah sakit keras. Aku memaklumi karena memang seharusnya keluarga menjadi nomor satu.
Aku kembali menelusuri ke bawah, melihat kembali berbagai macam kiriman lawas. Mataku terhenti pada salah satu alamat surel.
Aditya Candra.
Nama itu kembali memenuhi otakku. Berbagai pertanyaan-pertanyaan klise langsung menyerbuku bertubi-tubi. Mereka kembali memenuhi ruang kosong yang selama ini masih menjadi pertanyaanku juga.
Kenapa aku menyukaimu?
Kenapa aku masih membicarakanmu akhir-akhir ini?
Kenapa aku selalu mencari-cari celah untuk kemungkinan kita bersama, saat kita sedang tidak sengaja bertemu?
Kenapa aku girang waktu aku tahu ibu kita memiliki nama yang mirip?
Kenapa aku girang ketika teman-teman kita dulu selalu mencari cara untuk membuat kita salah tingkah?
Kenapa aku ikut merasa senang ketika namamu disebut sebagai juara kelas waktu itu?
Kenapa aku ikut merasa sedih ketika kamu menceritakan kehilanganmu terhadap orang yang kamu sayang?
Kenapa kamu yang datang di malam-malamku, bukan dia yang selalu ada di sisiku?
Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di benakku, hingga tiba-tiba suara ketukan pintu itu mengagetkanku.
"Maaf, bu Ira. Sudah jam setengah 5. Saya hanya mengingatkan kalau ada meeting dengan pak Candra jam 5, waktu tempuh sekitar 15 menit perjalanan, kalau tidak begitu macet. Mungkin kalau macet bisa mencapai--"
"Iya, iya. Baik, segera siapkan mobil, ya." dengan segera aku menyuruh Sisi, sekretarisku, untuk menyiapkan mobil yang akan mengangkutku menujumu.
"Semoga, pertemuan kali ini tidak mengecewakan."
---
"Halo, dengan pantry. Ada yang bisa dibantu?" seorang office girl menjawab teleponku, yang aku tahu ternyata Fira.
"Fir, tolong bawakan segelas jeruk hangat, ya. Saya tunggu di kantor."
"Baik, bu." jawabnya kemudian langsung menutup telepon.
Beberapa menit kemudian, pintu kantorku diketuk. Ternyata Toni, salah seorang teman Fira yang mengantarkan jeruk hangat pesananku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku mempersilahkan Toni untuk meninggalkan ruanganku.
Keheningan kembali terjadi. Sesekali aku membuka surelku, kemudian membalas salah satu surat pengunduran diri reporterku di bidang kriminal. Katanya ia harus mengurusi suaminya yang sudah sakit keras. Aku memaklumi karena memang seharusnya keluarga menjadi nomor satu.
Aku kembali menelusuri ke bawah, melihat kembali berbagai macam kiriman lawas. Mataku terhenti pada salah satu alamat surel.
Aditya Candra.
Nama itu kembali memenuhi otakku. Berbagai pertanyaan-pertanyaan klise langsung menyerbuku bertubi-tubi. Mereka kembali memenuhi ruang kosong yang selama ini masih menjadi pertanyaanku juga.
Kenapa aku menyukaimu?
Kenapa aku masih membicarakanmu akhir-akhir ini?
Kenapa aku selalu mencari-cari celah untuk kemungkinan kita bersama, saat kita sedang tidak sengaja bertemu?
Kenapa aku girang waktu aku tahu ibu kita memiliki nama yang mirip?
Kenapa aku girang ketika teman-teman kita dulu selalu mencari cara untuk membuat kita salah tingkah?
Kenapa aku ikut merasa senang ketika namamu disebut sebagai juara kelas waktu itu?
Kenapa aku ikut merasa sedih ketika kamu menceritakan kehilanganmu terhadap orang yang kamu sayang?
Kenapa kamu yang datang di malam-malamku, bukan dia yang selalu ada di sisiku?
Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di benakku, hingga tiba-tiba suara ketukan pintu itu mengagetkanku.
"Maaf, bu Ira. Sudah jam setengah 5. Saya hanya mengingatkan kalau ada meeting dengan pak Candra jam 5, waktu tempuh sekitar 15 menit perjalanan, kalau tidak begitu macet. Mungkin kalau macet bisa mencapai--"
"Iya, iya. Baik, segera siapkan mobil, ya." dengan segera aku menyuruh Sisi, sekretarisku, untuk menyiapkan mobil yang akan mengangkutku menujumu.
"Semoga, pertemuan kali ini tidak mengecewakan."
---
Komentar
Posting Komentar