Langsung ke konten utama

Hai, Apa Kabar?

"Hei, apa kabar?" hanya kalimat itu yang bisa terucap ketika (akhirnya) berjumpa denganmu.

"Baik." jawabmu singkat tanpa ada keinginan untuk melanjutkan perbincangan. Kau memilih memainkan smartphone-mu.

Aku meringis. Perih. Mungkin memang sudah sepantasnya aku mendapatkan perlakuan seperti ini. Terakhir kali aku bertemu denganmu, ketika sama-sama menghadiri pernikahan salah satu teman SMA kita tahun lalu. Saat itu kau datang bersama dengan seorang gadis cantik. Dan aku juga datang dengan pasanganku.

Tidak ada yang tahu, pertemuan kita tahun lalu masih membekas, masih kentara di ingatan, masih terasa perih di hati. Tidak ada yang menduga gejolak masa lalu itu hadir lagi. Aku masih ingat kedekatan kita, hingga akhirnya kau yang perlahan-lahan menjauh. Kemudian hilang.

Aku menghela nafas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan.

"Ada yang ingin aku perjelas," ujarku.

Akhirnya kau bergeming. Kau memasukkan gadget ke sakumu. Pandanganmu langsung tertuju padaku, yang sedang dengan sekuat tenaga menyiapkan kata-kata yang tepat.

"Maafkan aku sudah menyuruhmu untuk datang siang ini. Aku juga tidak tahu kenapa harus kamu yang aku ajak bertemu sekarang. Aku hanya ingin merasa lega, itu saja. Entah kenapa ada sesuatu yang akhir-akhir ini selalu menggangguku. Aku dibayangi ulah di masa lalu, kesalahan fatal yang harusnya tidak pernah terjadi hingga akhirnya membuat satu akibat yang sangat aku sesali,"

Kau tetap berusaha mendengarkanku bercerita, meskipun hot peach tea yang kau pesan tadi sudah beranjak dingin. Aku menelan ludahku, kemudian melanjutkan penjelasanku.

"Aku sangat suka, ketika dulu kita selalu saling membutuhkan satu sama lain. Kita yang selalu berbagi cerita, kamu dengan gadis-gadis pilihanmu, dan aku yang selalu berusaha menjadi pendegar yang baik. Iya, tidak ada yang salah dengan itu. Aku juga tidak selalu menjadi pendengar. Kadang kau yang gantian mendengarkan keluh kesahku, terutama masalah-masalah di bangku sekolah dulu. Ya, masa-masa yang menyengkan, bukan?"

"Namun semua berubah sejak kesalahan itu terjadi. Ya, aku mulai menyukaimu. Aku mulai menikmati kebersamaan yang kita bangun. Aku mulai menjadi orang gila yang selalu tersenyum ketika namamu disebut. Aku mulai menjadi pencemburu ketika gadis lain mencoba mendekatimu. Aku tidak tahu, sejak kapan perasaan itu terjadi. Hingga akhirnya kamu tahu, dan perlahan menjauhiku."

"Permasalahan itu mungkin sudah lama, tapi aku tidak bisa membiarkan perasaan ini menggantung tanpa ada titik, aku harus mengakhiri ini. Aku yakin, mungkin kau bahkan sudah tidak memperdulikan permasalahan ini karena sudah hampir 7 tahun berlalu. Tapi aku tidak. Mimpi-mimpi yang selalu menghadirkanmu akhir-akhir ini seolah menyuruhku untuk menuntaskan persoalan ini."

Kamu mengambil cangkir kemudian menyesapi minuman yang mungkin sekarang sudah jadi teh dingin karena AC ruangan yang cukup membuat seseorang mengetatkan jaketnya.

"Lalu?"

Aku memejamkan mata, mencari kalimat yang mampu mewakili perasaanku saat ini.

"Aku minta maaf." kataku. Ekspresimu masih datar.

"Untuk?"

"Untuk kesalahan yang aku buat. Kau sudah mempercayakan semua kepadaku, namun aku mengkhianatimu dengan mencintaimu. Aku bahkan menikmati pengkhianatan yang aku lakukan. Aku diam-diam mendoakanmu untuk jauh dari gadis-gadis itu. Aku juga diam-diam selalu berdoa agar kau mau menoleh ke arahku sedetik saja, dan menyadari bahwa ada aku yang diam-diam memperhatikanmu. Aku bersalah karena aku selalu mencoba untuk selalu bersama dengamu, dengan mencari perhatianmu. Maafkan aku yang selalu berimaji untuk menikmati kebersamaan kita di masa depan."

Kamu hanya menghela nafas. Aku menunduk, tak kuasa untuk menatap wajahmu. Aku memastikan bahwa setelah ini kamu akan melihatku sebagai seorang perempuan yang menyedihkan, yang tidak bisa berhenti mengejar sesuatu yang tidak pasti. Perempuan yang menyedihkan, karena ia membiarkan hatinya tercabik-cabik menikmati luka yang tidak sengaja kamu torehkan.

Tidak, kamu tidak bersalah. Aku justru yang bersalah. Aku yang membiarkanmu masuk ke kehidupanku. Aku yang membiarkanmu menjadi bagian dari cerita di buku harianku. Aku yang membuat situasi ini menjadi rumit.

"Ehem." kamu mulai membuka pembicaraan. Jantungku berdebar tidak karuan.

"Aku tidak menyalahkan siapa-siapa dalam situasi ini. Justru kita sedang berada di posisi yang sama. Sama-sama ingin mempertahankan hubungan ini, meskipun sama-sama kita tahu entah mau diapakan dengan hubungan ini. Aku tidak merasa kamu yang berkhianat. Tidak, tidak ada yang berkhianat di sini. Tidak kau, tidak juga aku. Aku yang diam-diam ingin bersamamu, meskipun aku tak tahu perasaan apa ini."

Kamu menghela nafas. Kamu menggenggam tanganku, aku menyambutnya dengan jantung berdebar.

"Maumu apa?" suaraku bergetar, kamu terlalu kuat menggenggam tanganku.

"Bisa kita lanjutkan seperti ini saja? Tak ada yang tersakiti, tak ada yang merasa diduakan. Tak ada yang merasa diawasi. Hanya saling bahagia, saling bercerita, saling bertukar pikiran, saling memperhatikan. Bisakah?"

"Lalu? Apa yang akan terjadi setelahnya?"

Kamu tersenyum. "Kita lihat saja nanti."

 ------------------
 © Aliffanita, Juli 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suara Hati

"Hai, manis. Apakah kau masih tetap ingin tertidur?" Katamu sambil menggenggam tanganku. Aku masih tak menjawab. Kamu semakin erat menggenggam tanganku. Entah mengapa aku tak ingin membuka mataku. Tak ada niat, atau mungkin lebih tepatnya tak ada daya untuk membukanya. Atau mungkin.. aku menunggumu mengungkapkan sesuatu. Wajahmu terlihat lesu sayu. Mungkin karena kamu memaksakan diri langsung ke tempatku tanpa istirahat terlebih dulu. Hei, kamu juga harus memperhatikan kesehatanmu! Memangnya aku yang harus selalu kamu ingatkan ketika masih harus berkutat dengan komputer di pagi buta? Ingat, badanmu bukan robot, katamu. Aku hanya tersenyum jahil, dan kamu tetap menyuruhku untuk menghentikan aktivitasku. "Kamu mau sampai kapan seperti ini?" Tanyamu. Aku masih bergeming. Tak kuasa ku buka mataku. Kamu mulai membelai lembut kepalaku, mengangkat tanganku kemudian menempelkannya di pipimu. Oh, itulah yang selalu kutunggu darimu ! "Aku tahu kamu selalu jadi yang...

Antara Aku dan Kamu

"Kamu berubah!" panggilku dari jauh. Kamu sudah berjalan membelakangiku, membiarkanku menatap punggungmu yang bidang. Kamu berhenti, kemudian menengok dari asal suara itu. Iya, itu suaraku, yang sekarang sudah bertambah dengan isakan dan air mata yang mungkin tak bisa berhenti. Kamu menghampiriku, kemudian membelai pipiku yang mulai basah dengan air mata. Dengan penuh rasa sayang--aku bisa merasakan itu--kamu menghapus air mataku yang makin pecah ketika kamu di dekatku. "Siapa yang berubah? Aku? Memang sudah saatnya, 'kan?" jelasnya, pelan tapi tajam. Penuh dengan kehati-hatian kamu membelai rambutku. Aku diam saja. "Dengar, aku berubah karena memang sudah saatnya aku berubah. Untuk apa kamu terus mempertanyakan hal itu?" "Tapi kupikir kita masih menjadi kita, bukan antara aku dan kamu lagi," kataku sambil terisak. Kamu tersenyum. "Bukankah sudah kubilang dari jauh-jauh hari. Kita ini bukan kita. Sekarang hanya ada aku, dan kam...

"Aku bahagia memiliki teman-teman seperti kalian.." (2)

H-1 ultah Andri..  Sehabis tes hari kedua, kami berkumpul dan berembug lagi tentang apa yang akan kami lakukan terhadap Andri. Ya, tambah gila lagi pastinya. Kumpul di bu RT sampai siang menghasilkan kesepakatan bahwa aksi perampokan akan dikerjakan malam ini. Masih memikirkan cara-cara yang licik biar Andri mau diajak keluar dan membiarkan kamarnya kosong tak berpenghuni.