Hai, Arka. Sudah sepekan sejak obrolan terakhir kita di Whatsapp waktu itu. Apa kamu masih marah karena ucapanku? Aku minta maaf, karena waktu itu aku sudah terlalu emosi sehingga menyebabkanmu pergi.
Boleh aku jujur? Aku hanya tidak suka kamu dekat-dekat dengan Gadis. Tidak tahu, sepertinya aku tidak suka. Iya, hanya tidak suka. Gadis terlalu mencolok, dan kamu terlalu redup untuk bersanding dengannya.
Maafkan aku, kesalahanku lagi hingga kamu tersinggung dan malas menghubungiku. Aku tidak tahu kalau kamu benar-benar sedang dalam keadaan yang bahagia. Maafkan aku, harusnya aku membiarkanmu bahagia dengan kehidupanmu, bukan mencampuri urusanmu.
Aku hanya teringat pada satu kejadian sewaktu SMA. Kamu ingat, aku pernah bercerita padamu mengenai Frans? Sahabatku, sebelum akhirnya aku menemukanmu tergeletak di UKS waktu itu. Maaf aku mengungkitnya lagi. Aku tidak tahu kalau kejadiannya akan sama lagi seperti itu. Aku bersalah, karena aku membuat seseorang yang dia sayang cemburu dan memutuskan hubungan dengannya. Dan dia akhirnya mundur teratur, menjauhiku dalam diam. Ia berharap tidak menyakitiku, tapi aku sudah terlanjur sakit.
Ya mungkin memang salahku, tidak memperhatikan kondisi kejiwaan sahabatku sendiri. Aku selalu egois, tidak pernah mau dinomorduakan, aku selalu ingin memonopoli segalanya. Termasuk pada sahabatku sendiri. Maafkan aku, Ka. Memonopolimu mungkin adalah kesalahan terbesarku.
Gadis cemburu. Siapa lagi kalau bukan padaku? Aku yang selalu setiap saat menghubungimu, dalam keadaan tidak penting sekalipun. Entah kenapa aku tidak mau menghabiskan hariku sendirian. Hariku terlalu berharga untuk aku habiskan sendiri, tanpa cerita, tanpa kesan, tanpa hiburan. Dan dengan isengnya aku selalu memintamu untuk menemaniku kemana pun aku mau. Nonton film di bioskop, menjelajahi mall, membeli es coklat di Chocotime, dan apa lagi ya? Kurasa terlalu banyak. Ah, baru aku sadar, pantas Gadis cemburu.
Maafkan aku, aku tidak peka. Aku tidak tahu kalau sahabatku sendiri sedang menikmati kehidupan romansa merah jambunya. Aku hanya terpaku pada 'aku', tidak pada 'kamu', tidak pada 'kita'. Keputusan Haikal untuk berhenti berjalan bersamaku terlalu menyakitkan, aku bahkan tak tahu harus kemana, kalau tidak ada kamu yang menyadarkanku untuk selalu bangkit dan maju. Entah apa jadinya kalau kamu tidak menamparku habis-habisan, mungkin sekarang aku sudah merangkak di depan Haikal sambil menangis.
Ah, Haikal lagi ya? Maaf, masalah Haikal tidak ada hubungannya denganmu. Bahkan kamu sampai menamparnya dan memukulnya hingga tersungkur. Ia tetap memaafkanmu. Ia sadar tentang kesalahan yang dia lakukan padaku. Aku bahkan tak menyangka kamu dengan nekatnya datang ke kantor lalu menamparnya, di depan mataku, kemudian memarahinya. Sungguh, tidak ada sahabat yang lebih gila daripada kamu.
Akhirnya, aku hanya ingin mengucapkan selamat. Mungkin Gadis memang pilihanmu, aku tidak akan meragukannya, karena kamu sendiri yang sudah memilih. Pilihanmu, resiko ada di tanganmu juga. Yang bisa kulakukan sekarang hanya mendoakanmu, mendukungmu, dari jauh. Semoga bahagia. :)
-Faya, untuk Arka, sahabatku.
---
© Aliffanita, 12 Juli 2015
Boleh aku jujur? Aku hanya tidak suka kamu dekat-dekat dengan Gadis. Tidak tahu, sepertinya aku tidak suka. Iya, hanya tidak suka. Gadis terlalu mencolok, dan kamu terlalu redup untuk bersanding dengannya.
Maafkan aku, kesalahanku lagi hingga kamu tersinggung dan malas menghubungiku. Aku tidak tahu kalau kamu benar-benar sedang dalam keadaan yang bahagia. Maafkan aku, harusnya aku membiarkanmu bahagia dengan kehidupanmu, bukan mencampuri urusanmu.
Aku hanya teringat pada satu kejadian sewaktu SMA. Kamu ingat, aku pernah bercerita padamu mengenai Frans? Sahabatku, sebelum akhirnya aku menemukanmu tergeletak di UKS waktu itu. Maaf aku mengungkitnya lagi. Aku tidak tahu kalau kejadiannya akan sama lagi seperti itu. Aku bersalah, karena aku membuat seseorang yang dia sayang cemburu dan memutuskan hubungan dengannya. Dan dia akhirnya mundur teratur, menjauhiku dalam diam. Ia berharap tidak menyakitiku, tapi aku sudah terlanjur sakit.
Ya mungkin memang salahku, tidak memperhatikan kondisi kejiwaan sahabatku sendiri. Aku selalu egois, tidak pernah mau dinomorduakan, aku selalu ingin memonopoli segalanya. Termasuk pada sahabatku sendiri. Maafkan aku, Ka. Memonopolimu mungkin adalah kesalahan terbesarku.
Gadis cemburu. Siapa lagi kalau bukan padaku? Aku yang selalu setiap saat menghubungimu, dalam keadaan tidak penting sekalipun. Entah kenapa aku tidak mau menghabiskan hariku sendirian. Hariku terlalu berharga untuk aku habiskan sendiri, tanpa cerita, tanpa kesan, tanpa hiburan. Dan dengan isengnya aku selalu memintamu untuk menemaniku kemana pun aku mau. Nonton film di bioskop, menjelajahi mall, membeli es coklat di Chocotime, dan apa lagi ya? Kurasa terlalu banyak. Ah, baru aku sadar, pantas Gadis cemburu.
Maafkan aku, aku tidak peka. Aku tidak tahu kalau sahabatku sendiri sedang menikmati kehidupan romansa merah jambunya. Aku hanya terpaku pada 'aku', tidak pada 'kamu', tidak pada 'kita'. Keputusan Haikal untuk berhenti berjalan bersamaku terlalu menyakitkan, aku bahkan tak tahu harus kemana, kalau tidak ada kamu yang menyadarkanku untuk selalu bangkit dan maju. Entah apa jadinya kalau kamu tidak menamparku habis-habisan, mungkin sekarang aku sudah merangkak di depan Haikal sambil menangis.
Ah, Haikal lagi ya? Maaf, masalah Haikal tidak ada hubungannya denganmu. Bahkan kamu sampai menamparnya dan memukulnya hingga tersungkur. Ia tetap memaafkanmu. Ia sadar tentang kesalahan yang dia lakukan padaku. Aku bahkan tak menyangka kamu dengan nekatnya datang ke kantor lalu menamparnya, di depan mataku, kemudian memarahinya. Sungguh, tidak ada sahabat yang lebih gila daripada kamu.
Akhirnya, aku hanya ingin mengucapkan selamat. Mungkin Gadis memang pilihanmu, aku tidak akan meragukannya, karena kamu sendiri yang sudah memilih. Pilihanmu, resiko ada di tanganmu juga. Yang bisa kulakukan sekarang hanya mendoakanmu, mendukungmu, dari jauh. Semoga bahagia. :)
-Faya, untuk Arka, sahabatku.
---
© Aliffanita, 12 Juli 2015
Komentar
Posting Komentar