Langsung ke konten utama

Postingan

Suara Hati

"Hai, manis. Apakah kau masih tetap ingin tertidur?" Katamu sambil menggenggam tanganku. Aku masih tak menjawab. Kamu semakin erat menggenggam tanganku. Entah mengapa aku tak ingin membuka mataku. Tak ada niat, atau mungkin lebih tepatnya tak ada daya untuk membukanya. Atau mungkin.. aku menunggumu mengungkapkan sesuatu. Wajahmu terlihat lesu sayu. Mungkin karena kamu memaksakan diri langsung ke tempatku tanpa istirahat terlebih dulu. Hei, kamu juga harus memperhatikan kesehatanmu! Memangnya aku yang harus selalu kamu ingatkan ketika masih harus berkutat dengan komputer di pagi buta? Ingat, badanmu bukan robot, katamu. Aku hanya tersenyum jahil, dan kamu tetap menyuruhku untuk menghentikan aktivitasku. "Kamu mau sampai kapan seperti ini?" Tanyamu. Aku masih bergeming. Tak kuasa ku buka mataku. Kamu mulai membelai lembut kepalaku, mengangkat tanganku kemudian menempelkannya di pipimu. Oh, itulah yang selalu kutunggu darimu ! "Aku tahu kamu selalu jadi yang...
Postingan terbaru

"Aku bahagia memiliki teman-teman seperti kalian.." (3-abis)

Setelah sekian lama menunggu.. Akhirnya.. ini dia, hari terakhir alias hari H. Diawali kabar yang asik dari Mak. Ahaha.. Bayangkan muka Andri saat menyadari bahwa sabun hilang, pasta gigi asin.. Pasti di mulut sudah berasa seperti makan ubur-ubur mentah. :O Nah, pas itu pagi-pagi kan ak keluar dari ruang kelas, ketemu Gita. Ya udah, ak ajak ngobrol masalah Andri. Aku: "Git, gimana? Andri marah?" Gita: "Ya.. Gini.. Andri kan.." Kenapa terpotong? Aku yang memaksa untuk dipotong. Kenapa? Yaa.. Karena emang harus dipotong? Lha iya kenapa dipotong? Yaaa, pokoknya dipotong! Kenapa?! Oh, oke. Ini sengaja dibesar-besarin biar post keliatan banyak. *padahal kayaknya bakal banyak banget ni* Jadi begini, saat Gita hendak melanjutkan ceritanya tentang kejadian semalam, Andri mendadak turun menuruni tangga tepat di depan kami. Andri mungkin aja udah curiga sama kami, soalnya aku nggak pernah ngobrol berdua ama Gita *eaaak* Trus dia datengin kami, dengan mukanya yang....

Dari Arka, untuk Faya.

Faya. Aku menemukanmu tertidur nyenyak di UKS waktu itu. Keadaanku yang lemah memaksaku untuk tetap terlelap, tanpa sempat menanyaimu kenapa ada di UKS. Dan tiba-tiba saja kamu terbangun lalu mengecek dahiku lalu menempelkan kompres demam. Kamu bahkan belum mengenalku. Aku merasa kamu memang perempuan unik. Aku tidak marah. Aku tidak tersinggung dengan ucapanmu. Hanya saja, beri aku waktu untuk berfikir. Kamu selalu mencoba mencari celah kesalahanku, dan herannya semua benar. Aku tidak dapat berkata apa-apa ketika kamu menyamakan Gadis dengan mantan-mantanku yang dulu. Dengan emosinya aku marah lalu menghentikan obrolan. Aku tahu, aku menyakitimu. Maaf. Sejujurnya aku ingin membagi kebahagiaanku denganmu. Tapi entah setiap melihat foto profil Whatsappmu, atau update di Line, atau hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan iseng di ask.fm, aku selalu mengundurkan niatku. Aku tahu, kamu tidak menyukai Gadis. Terlihat dari raut mukamu saat aku memperkenalkan dia pertama kali sebagai partn...

Dari Faya, untuk Arka.

Hai,  Arka. Sudah sepekan sejak obrolan terakhir kita di Whatsapp waktu itu. Apa kamu masih marah karena ucapanku? Aku minta maaf, karena waktu itu aku sudah terlalu emosi sehingga menyebabkanmu pergi. Boleh aku jujur? Aku hanya tidak suka kamu dekat-dekat dengan Gadis. Tidak tahu, sepertinya aku tidak suka. Iya, hanya tidak suka. Gadis terlalu mencolok, dan kamu terlalu redup untuk bersanding dengannya. Maafkan aku, kesalahanku lagi hingga kamu tersinggung dan malas menghubungiku. Aku tidak tahu kalau kamu benar-benar sedang dalam keadaan yang bahagia. Maafkan aku, harusnya aku membiarkanmu bahagia dengan kehidupanmu, bukan mencampuri urusanmu. Aku hanya teringat pada satu kejadian sewaktu SMA. Kamu ingat, aku pernah bercerita padamu mengenai Frans? Sahabatku, sebelum akhirnya aku menemukanmu tergeletak di UKS waktu itu. Maaf aku mengungkitnya lagi. Aku tidak tahu kalau kejadiannya akan sama lagi seperti itu. Aku bersalah, karena aku membuat seseorang yang dia sayang cemburu...

Hai, Apa Kabar?

"Hei, apa kabar?" hanya kalimat itu yang bisa terucap ketika (akhirnya) berjumpa denganmu. "Baik." jawabmu singkat tanpa ada keinginan untuk melanjutkan perbincangan. Kau memilih memainkan smartphone- mu. Aku meringis. Perih. Mungkin memang sudah sepantasnya aku mendapatkan perlakuan seperti ini. Terakhir kali aku bertemu denganmu, ketika sama-sama menghadiri pernikahan salah satu teman SMA kita tahun lalu. Saat itu kau datang bersama dengan seorang gadis cantik. Dan aku juga datang dengan pasanganku. Tidak ada yang tahu, pertemuan kita tahun lalu masih membekas, masih kentara di ingatan, masih terasa perih di hati. Tidak ada yang menduga gejolak masa lalu itu hadir lagi. Aku masih ingat kedekatan kita, hingga akhirnya kau yang perlahan-lahan menjauh. Kemudian hilang. Aku menghela nafas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan. "Ada yang ingin aku perjelas," ujarku. Akhirnya kau bergeming. Kau memasukkan gadget ke sakumu. Pandanganmu langsung tertuju...

Surel-surel

Aku melirik jam dinding yang terpasang di ruang kerja. Sudah jam 4 sore. Pantas saja ruangan ini sudah seperti kamar kos yang ditinggal penghuninya. Aku menghela nafas, masih ada dua agenda yang harus aku hadiri. Jam 5 ada meeting dengan pengusaha terkenal yang ingin membantu biaya operasional televisi, dan dilanjutkan jam 7 mengawasi produksi program buletin berita. Aku kembali menghela nafas, kemudian memencet beberapa nomor di telepon untuk terhubung dengan pantry. "Halo, dengan pantry. Ada yang bisa dibantu?" seorang office girl menjawab teleponku, yang aku tahu ternyata Fira. "Fir, tolong bawakan segelas jeruk hangat, ya. Saya tunggu di kantor." "Baik, bu." jawabnya kemudian langsung menutup telepon. Beberapa menit kemudian, pintu kantorku diketuk. Ternyata Toni, salah seorang teman Fira yang mengantarkan jeruk hangat pesananku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku mempersilahkan Toni untuk meninggalkan ruanganku. Keheningan kembali terjadi...